A.
Pengertian Akhlak Kepada Kepada Kedua Orang Tua
Kata Akhlak.
berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang menurut bahasa
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat.[1]
Tabiat atau watak dilahirkan karena hasil perbuatan yang diulang-ulang sehingga
menjadi biasa. Perkataan ahklak sering disebut kesusilaan, sopan santun dalam
bahasa Indonesia; moral, ethnic. Dalam bahasa Inggris sering disebut ethos
sedangkan ethios dalam bahasa Yunani.
Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang
berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan khaliq yang berarti
pencipta; demikian pula dengan makhluqun yang berarti yang diciptakan.
Adapaun
definisi akhlak menurut istilah ialah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu. Senada dengan hal ini Abd Hamid Yunus mengatakan bahwa akhlak
ialah Sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan
pertimbangan.[2]
Menurut
Imam Ghazali, dalam kitab ihya ulumuddin, mengatakan akhlak dengan gampang dan
mudah dengan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3]
Sedangkan
menurut Ibrahim Anis dalam al-Mu.jam al-Wasith, bahwa akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik
atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[4]
Selanjutnya Abuddin Nata dalam bukunya pendidikan dalam persfektif hadits
mengatakan bahwa ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak. Pertama
perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat
dalam jiwa seseorang. Kedua perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang
dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthouhgt). Ketiga,
perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa paksaan. Keempat, perbuatan
dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima, perbuatan
dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.[5]
Sedangkan
orang tua adalah perantara yang melahirkan dan membesarkan kita. Dengan
demikian dari definisi akhlak dan kedua orang tua di atas dapat disimpulkan
bahwa akhlak kepada kedua orang tua adalah kehandak jiwa manusia yang
menimbulkan perbuatan baik karena kebiasaan tanpa pemikiran dan pertimbangan
sehingga menjadi kepribadian yang kuat di dalam jiwa seseorang untuk selalu
berbuat baik kepada orang yang telah mengasuhnya mulai dari di dalam kandungan
maupun setelah dewasa.
B.
Bir Al-Walidain ( Berbakti kepada Kedua orang Tua )
1.
Makna "al-Birr"
Al Birr yaitu
kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah bersabda "Al Birr adalah baiknya
akhlaq.[6]
Al-Birr merupakan haq kedua orang tua dan kerabat dekat. Sedangkan lawan dari
al-Birr adalah Al-‘Uquuq yaitu kejelekan dan menyia-nyiakan haq. Al Birr adalah
mentaati kedua orang tua didalam semua apa yang mereka perintahkan kepada kita
semua, selama tidak bermaksiat kepada Allah, sedangkan Al-‘Uquuq dalam
aplikasinya adalah menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.[7]
Menurut Urwah
bin Zubair tentang "Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan." (QS. Al Isra’ :24).
Dalam ayat ini menurut beliau jangan sampai mereka berdua tidak ditaati
sedikitpun.[8]
Sedangkan menurut Imam Al Qurtubi yang dimaksud dengan kalimat ‘Uquuq adalah
durhaka kepada orang tua adalah menyelisihi atau menentang keinginan-keinginan
mereka dari perkara-perkara yang mubah, sedsngkan kalimat Al-Birr atau berbakti
kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena
itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, maka wajib
mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, sekalipun apa yang mereka
perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya,begitu pula apabila apa
yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub yaitu disukai atau disunnahkan maka
diwajibkan juga.[9]
Seiring dengan
pernyataan diatas Ibn Taimiyyah yang dikutipnya dari Abu Bakr di dalam kitab
Zaadul Musaafir yaitu barang siapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah
dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya kepada suasana yang semula
agar mereka bisa tertawa dan senang kembali.[10]
2.
Hukum Birrul Walidain
Para Ulama’
Islam sepakat bahwa hukum berbuat baik atau berbakti pada kedua orang tua
hukumnya adalah wajib, hanya saja mereka berselisih tentang ibarat-ibarat atau
contoh pengamalannya misalnya mengenai orang anak yang mengatakan “uh” atau
“ah” ketika di suruh oleh kedua orang tua tersebut. Pendapat Ibnu Hazm menganai
hukum birrul walidain, menurutnya birul walidain adalah fardhu a’in yaitu wajib
bagi masing-masing individu. Sedangkan menurut Al-Qodli Iyyad birrul walidain
adalah wajib kecuali terhadap perkara yang haram.
Adapun dalil-dalil
Shahih dan Sharih yang mereka gunakan banyak sekali diantaranya:
a.
Firman Allah
Swt. dalam surah An-Nisa’ ayat 36 yaitu "Sembahlah Allah dan jangan kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua Ibu Bapak". (An Nisa’ : 36).[11]
Dalam ayat ini berbuat
baik kepada Ibu Bapak merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan
kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan
mengEsa kan atau tidak mempersekutukan Allah, serta tidak didapatinya perubahan
kalimat dalam ayat tersebut dariperintah ini.
b.
Firman Allah
Swt. Dalam Al-qur’an surah Al-Isra’ ayat 23 yang artinya "Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS. Al Isra’: 23).[12]
Adapun makna
qadhoo yang terdapat pada ayat diata. Menurt Ibnu Katsir : yakni, mewasiatkan. Berbeda
dengan Al-Qurthubiy yang dimaksud dengan
qadhoo yaitu memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Sedangkan menurut Asy
Syaukaniy yang dimaksud kalimat qadhoo Allah memerintahkan untuk berbuat baik
pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah
kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan
membantu urusan-urusan pekerjaan mereka, maka ini adalah perkara yang tidak
bersembunyi lagi perintahnya.[13]
c.
Firman Allah
Swt di dalam Al-Qur’an surah Lukman ayat 14 yang artinya "Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya
dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu,
hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS. Luqman :14).[14]
Menanggapi
surah diata Ibnu Abbas berpendapat bahwa terdapat tiga ayat dalam Al Qur’an
yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya yaitu
"Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu". Beliau
melanjutkan. Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia
tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima rasa syukurnya walaupun
bersyukur sampai jungkir balik[15]
Berkaitan
dengan ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi Wassallam bersabda: Keridhaan Rabb
(Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada
kemurkaan orang tua"[16] Hadist ini sangat masyhur dikalangan kita
tetapi aplikasi kita dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah kita lakukan
padahal rasa syukur itu merupakan bentuk penghambaan kita kepada sang khaliq.
d.
Hadits Al
Mughirah bin Syu’bah dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beliau bersabda "Sesungguhnya
Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak
perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta atau bakhil dan Allah
membenci atas kalian mengatakan katanya si fulan begini si fulan berkata begitu
tanpa diteliti terlebih dahulu, banyak bertanya yang tidak bermanfaat, dan
membuang-buang harta".[17]
Jadi
berbakti kepada kedua orangtua itu hukumnya wajib terhadapa masing-masing
individu selama itu tidak menjadi maksia yaitu melanggar aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah dan rasulnya dan haram hukumnya mendurhakai keduanya jika
perintah itu baik dan tidak berdosa kepada Allah Swt.
3.
Macam-macam Bir al-Walidain dan Hak-hak Mereka
Kedua orang tua
adalah manusia yang paling berjasa dan utama bagi diri seseorang. Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan dalam berbagai tempat di dalam Al-Qur'an
agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah menyebutkannya berbarengan dengan
pentauhidan-Nya Azza wa Jalla dan memerintahkan para hamba-Nya untuk
melaksanakannya sebagaimana akan disebutkan kemudian.
Hak kedua orang
tua merupakan hak terbesar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim. Di sini
akan dicantumkan beberapa adab yang berkaitan dengan masalah ini. Antara lain
hak yang wajib dilakukan semasa kedua orang tua hidup dan setelah meninggal.
Dengan pertolongan Allah saya akan sebutkan beberapa adab tersebut, antara
lain:
hak-hak yang
wajib dilaksanakan semasa orang tua masih hidup ialah sebagai berikut:
1. Mentaati Mereka
Selama Tidak Mendurhakai Allah
Mentaati kedua
orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai keduanya.
Tidak diperbolehkan sedikit pun mendurhakai mereka berdua kecuali apabila
mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya. Allah Subhanahu
wa TA'ala berfirman: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya..." (QS. Luqman: 15).[18]
Tidak boleh
mentaati makhluk untuk mendurhakai Allah, Penciptanya, sebagaimana sabda
Rasululah shallallahu 'alaihi wa sallam: Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai
Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan.[19]
Adapun jika
bukan dalam perkara yang mendurhakai Allah, wajib mentaati kedua orang tua
selamanya dan ini termasuk perkara yang paling diwajibkan. Oleh karena itu,
seorang Muslim tidak boleh mendurhakai apa saja yang diperintahkan oleh kedua
orang tua.
2. Berbakti dan
Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua
Allah Subhanahu
wa Ta'ala juga berfirman "Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapaknya..." (QS. Al-Ahqaaf:
15)[20] "Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang tua ibu bapak..." (QS. An-Nisaa': 36).[21] Perintah
berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan
lanjut hingga kondisi mereka melemah dan sangat membutuhkan bantuan dan
perhatian dari anaknya.
Uraian diata di
perkuat dengan Firman Allah dalan Al-qur’an Surah Al-Israa’ ayat 23-24 "Dan
Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kasih sayang dan ucapkanlah: 'Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.'" (QS.
Al-Israa': 23-24)
Di dalam sebuah
hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh
merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi orang yang mendapatkan kedua orang
tuanya yang sudah renta atau salah seorang dari mereka kemudian hal itu tidak
dapat memasukkannya ke dalam Surga.[22]
Hadist ini menekankan bahwa ketika kedua orang tua tersebut sudah tua dan tidak
bisa melakukan yang biasa dilakukannya, sehingga mereka tidak kuasa
melakukannya sendiri maka disini keajiban kita sebagai anak. Jika kita mampu
melakukan pekerjaanya maka balasanya adalah surge.
Di antara bakti
terhadap kedua orang tua adalah menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat
menyakiti kedua orang tua, walaupun dengan isyarat atau dengan ucapan 'ah'.
Termasuk berbakti kepada keduanya ialah senantiasa membuat mereka ridha dengan
melakukan apa yang mereka inginkan, selama hal itu tidak mendurhakai Allah
Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana yang telah disebutkan.
3. Merendahkan
Diri Di Hadapan Keduanya
Tidak boleh
mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua atau di hadapan mereka berdua.
Tidak boleh juga berjalan di depan mereka, masuk dan keluar mendahului mereka,
atau mendahului urusan mereka berdua.
Rendahkanlah
diri di hadapan mereka berdua dengan cara mendahulukan segala urusan mereka,
membentangkan dipan untuk mereka, mempersilakan mereka duduk di tempat yang
empuk, menyodorkan bantal, janganlah mendului makan dan minum, dan lain
sebagainya. Hal yang sepele ini kadang bisa kita lupakan, tidak sadar jika hal
itu bisa mendurhakai kepad kedua orang tua kita.
4. Berbicara
Dengan Lembut Di Hadapan Merek
Berbicara
dengan lembut merupakan kesempurnaan bakti kepada kedua orang tua dan
merendahkan diri di hadapan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala: "...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia." (QS. Al-Israa': 23).[23] Oleh karena itu, berbicaralah kepada mereka berdua dengan ucapan
yang lemah lembut dan baik serta dengan lafazh yang bagus.
5. Menyediakan
Makanan Untuk Mereka
Menyediakan
makanan juga termasuk bakti kepada kedua orang tua, terutama jika ia memberi
mereka makan dari hasil jerih payah sendiri. Jadi, sepantasnya disediakan untuk
mereka makanan dan minuman terbaik dan lebih mendahulukan mereka berdua
daripada dirinya, anaknya, dan suaminya.
Betapa mulianya
skedua orang tua kita dibandingkan dengan sanak keluarga kita sendiri. Mengapa
syari’at Islam mengintruklsikan demikian, karena takut ada kemungkinan
kekecewaan dari mereka. Tentu jika kita pikirkan secara logis sudah berapa lama
kita bersam-sama dengan mereka sedangkan berapa lam kita mengenal istri dan
anak kita. Kadang-kadang dilingkungan kita malah kebalik, anak yang di
dahulukan kemudian istri dan yang terakhir kedua orang tua.
6. Meminta Izin
Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya
Izin kepada
orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki
datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya:
"Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut berjihad?" Beliau balik
bertanya: "Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?" Laki-laki
itu menjawab: "Masih." Beliau bersabda: "Berjihadlah dengan cara
berbakti kepada keduanya.[24]
Seorang
laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata:
"Aku datang membai'atmu untuk hijrah dan tinggalkan kedua orang tuaku
menangisi kepergianku. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pulanglah
dan buatlah mereka tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.[25]
Seorang
laki-laki hijrah dari negeri Yaman lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya kepadanya: "Apakah kamu masih mempunyai kerabat di Yaman?"
Laki-laki itu menjawab: "Masih, yaitu kedua orang tuaku." Beliau kembali
bertanya: "Apakah mereka berdua mengizinkanmu?" Laki-laki itu menjawab:
"Tidak." Lantas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kembalilah
kamu kepada mereka dan mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkan, maka
kamu boleh ikut berjihad, namun jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya.[26]
Seorang
laki-laki berkata kepada beliau: "Aku membai'at anda untuk berhijrah dan
berjihad semata-mata hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala."
Beliau bersabda kepada laki-laki tersebut: "Apakah salah satu kedua orang
tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab: "Masih, bahkan keduanya
masih hidup." Beliau kembali bersabda: "Apakah kamu ingin mendapatkan
pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala?" Laki-laki itu menjawab:
"Ya." Kemudian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kembalilah kamu kepada kedua orang tuamu dan berbaktilah kepada keduanya.[27]
Pentingya ridha
seorang ibu itu mengalahkan keputusan seorang nabi sendiri. Dapat kita lihat
hadist-hadist yang menjelaskan kemulian seorang ibu mengalahkan kemulian
seorang babak sekalipun mereka sama-sama orang tua kita, alasanya sangat
sederhana ibulah yang mengandung dan melahirkan serta mengasuh kita sampai
dewasa. Mengenai kehamilan seorang ibu di gambarkan di dalam al-Qur’an dengan
kalimat “ wahnan ‘ala wahnin” yaitu derita diatas penderitaan.
7. Memberikan
Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang mereka Inginkan
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika
ia berkata: "Ayahku ingin mengambil hartaku." Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Kamu dan hartamu milik ayahmu.[28] Oleh
sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil atau kikir terhadap orang
yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah,
serta telah berbuat baik kepadanya.
Tidak
sepatutnya kita pelit kepada kedua orang tua kita. Ada pepatah arab mengatakan
“jika kita ingin membalas jasa kedua orang tua kita air laut yang ada di
samudera tidak cukup untuk menebusnya”. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang
telah di perbuat oleh mereka berdua.
8. Membuat
Keduanya Ridha Dengan Berbuat Baik Kepada Orang-orang yang Dicintai Mereka
Hendaknya
seseorang membuat kedua orang tua ridha dengan berbuat baik kepada para
saudara, karib kerabat, teman-teman, dan selain mereka. Yakni, dengan
memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan
janji-janji orang tua kepada mereka. Akan disebutkan nanti beberapa hadits yang
berkaitan dengan masalah ini.
Jika baik
kepada sanak keluarga baik dari keluarga bapak atau dari Ibu maka tali
kekeluargaan sangat erat terjalin pada keduanya. Kita akan menjadi akrab dari kedua
keluarga tersebut. Keakraban kita ini dapat membahagiakan kedua orang tua kiat
kebahagian ini yang akan menjadi keridhaan mereka juga.
9. Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua
Berbicara
tentang sumpah sudah dijelaskan di dalam al-Qur’an bahwa yang namanya sumpah
adalah wajib dilaksanakan walaupun macam apa bentuknya, sekalipun itu sangat
menyakitkan terhadap diri mereka sendiri hal ini berkesesuaian dengan sumpah
kedua orang tua.
Apabila kedua
orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di
dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk
memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka. Misalnya, mereka
bersumpah jika tanah saya laku dijual denga harga Rp 1M maka saya akan
memberikan 1/3 dari uang saya tersebut tetapi sebelum itu dilaksanakan kedua
orang tua tersebut sudah meninggal dunia, maka sumpah ini harus dipenuhi oleh
ahli warisnya.
Hal ini pernah
dilakukan oleh para sahabat ketika Nabi Bersabda “ saya akan berpuasa pada
bulan asyura” tetapi sebelum bulan itu datang Nabi telah wafat terlebih dahulu,
tetapi dengan ijtihad para sahabat tetap melaksankan ritual puasa tersebut
sampai sekarang.
10. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang
Lain
Mencela orang
tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Termasuk dosa besar
adalah seseorang mencela orang tuanya." Para Sahabat bertanya: "Ya,
Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?" Beliau menjawab:
"Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang
tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.[29]
Perbuatan ini
merupakan perbuatan dosa yang paling buruk. Orang-orang sering bergurau dan bercanda
dengan melakukan perbuatan yang sangat tercela ini. Biasanya perbuatan ini
muncul dari orang-orang rendahan dan hina. Perbuatan seperti ini termasuk dosa
besar sebagaimana yang telah disebutkan.
11. Mendahulukan Berbakti Kepada Ibu Daripada Ayah
Seorang laki-laki
pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Siapa
yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab:
"Ibumu." Laki-laki itu bertanya lagi: "Kemudian siapa lagi?"
Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu kembali bertanya: "Lalu
siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Lalu siapa
lagi?" tanyanya. "Ayahmu," jawab beliau.[30]
Hadits di atas
tidak bermaksud lebih mentaati ibu daripada ayah. Sebab, mentaati ayah lebih
didahulukan jika keduanya menyuruh pada waktu yang sama dan dibolehkan dalam
syari'at. Alasannya, ibu sendiri diwajibkan untuk taat pada suaminya, yaitu
ayah anaknya. Hanya saja, jika salah seorang dari mereka menyuruh berbuat taat
dan yang lain menyuruh berbuat maksiat, maka wajib untuk mentaati yang pertama.
Maksud lebih
mendahulukan berbuat baik kepada ibu, yaitu lebih bersikap lemah-lembut, lebih
berperilaku baik, dan memberikan sikap yang lebih halus daripada ayah. Hal ini
apabila keduanya berada di atas kebenaran. Sebagian salaf berkata: "Hak
ayah lebih besar dan hak ibu patut untuk dipenuhi."
Di antara hak orang tua setelah
mereka meninggal adalah:
1. Menshalati Keduanya
Maksud
menshalati di sini adalah mendo'akan keduanya. Yakni, setelah keduanya
meninggal dunia, karena ini termasuk bakti kepada mereka. Oleh karena itu,
seorang anak hendaknya lebih sering mendo'akan kedua orang tuanya setelah
mereka meninggal daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo'akan
keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Apabila manusia sudah
meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan dirinya.[31]
2. Beristighfar Untuk Mereka
Berdua
Orang tua
adalah orang yang paling utama bagi seorang Muslim untuk dido'akan agar Allah
mengampuni mereka karena kebaikan mereka karena kebaikan mereka yang besar.
Allah Subhanahu wa TA'ala menceritakan kisah Ibrahim Alaihissalam dalam
Al-Qur'an: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu
bapakku..." (QS.Ibrahim: 41).[32]
3. Menunaikan Janji Kedua Orang Tua
Hendaknya
seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara
berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya.
Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan
yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
4. Memuliakan Teman Kedua Orang Tua
Memuliakan
teman kedua orang tua juga termasuk berbuat baik pada orang tua, sebagaimana
yang telah disebutkan. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu pernah berpapasan dengan
seorang Arab Badui di jalan menuju Makkah. Kemudian, Ibnu Umar mengucapkan
salam kepadanya dan mempersilakannya naik ke atas keledai yang ia tunggangi.
Selanjutnya, ia juga memberikan sorbannya yang ia pakai. Ibnu Dinar berkata:
"Semoga Allah memuliakanmu. Mereka itu orang Arab Badui dan mereka sudah biasa
berjalan." Ibnu Umar berkata: "Sungguh dulu ayahnya teman Umar bin
al-Khaththab dan aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam
bersabda: "Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang
menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya
tersebut meninggal.[33]
5. Menyambung Tali Silaturahim Dengan Kerabat Ibu dan Ayah
Hendaknya
seseorang menyambung tali silaturahim dengan semua kerabat yang silsilah
keturunannya bersambung dengan ayah dan ibu, seperti paman dari pihak ayah dan
ibu, bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek, nenek, dan anak-anak mereka semua.
Bagi yang melakukannya, berarti ia telah menyambung tali silaturahim kedua
orang tuanya dan telah berbakti kepada mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang
telah disebutkan dan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barang
siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka
sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia
meninggal.[34]
C.
Keutamaan
Birrul Walidain
1.
Termasuk Amalan
Yang Paling Mulia
Dari
Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya
kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: Apakah amalan yang paling
dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
"Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : Kemudian apa lagi?,
Bersabada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam "Berbuat baik kepada
kedua orang tua". Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Berjihad di jalan
Allah".(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
2.
Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya
Dosa
Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman (artinya): "Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya….", hingga akhir ayat
berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal
yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan
mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah
dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15-16).[35]
Diriwayatkan
oleh ibnu Umar mudah-mudahan Allah meridhoi keduanya bahwasannya seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata :
Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah
masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam : "Apakah Ibumu masih hidup?", berkata dia : tidak. Bersabda
beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Kalau bibimu masih ada?", dia
berkata : "Ya" . Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam :
"Berbuat baiklah padanya".[36]
3.
Termasuk Sebab
Masuknya Seseorang Ke Surga
Dari Abu
Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Celakalah dia, celakalah
dia", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya : Siapa wahai Rasulullah?,
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : "Orang yang menjumpai
salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk
surga".[37]
Dari Mu’awiyah
bin Jaahimah mudah-mudahan Allah meridhoi mereka berdua, Bahwasannya Jaahimah
datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berkata :
"Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang
(ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia :
"Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam :
"Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak
kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’I dalam Sunannya dan Ahmad
dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
4.
Merupakan Sebab
keridhoan Allah
Sebagaiman
hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua
dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".Allah sangat membenci orang yang selalu membuat
orang tua cemberut, marah dan lain-lain. Sebagai seorang anak maka kita
berkewajiban untuk selalu membuat mereka bangga terhadap apa yang akan kita
capai.
5.
Merupakan Sebab
Bertambahnya Umur dan Rizki
Diantarnya
hadit yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik mudah-mudahan Allah meridhoinya,
dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
"Barangsiapa yang suka Allah besarkan rizkinya dan Allah panjangkan
umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim". Berbakti kepada
kedua orang tua juga merupakan sebab barokahnya rizki
DAFTAR PUSTAKA
A Mustafa, Akhlak Tasawuf, 1999. Pustaka
Setia: Jakarta, Cet. III, hal 11.
Abd.
Hamid Yunus, Da.irah al-Ma.arif, II, Asy.syab, t.t : Cairo, hal. 436.
Imam Ghazali, Ihya
Ulumuddin, 1987. Darur Riyan,, Jilid. III, hal. 58.
Ibrahim Anis, Al-Mu.jam
al-Wasith, 1972. Darul Ma.arif :
MesirDarul Ma.arif, hal. 202.
Abuddin Nata dan
Fauzan, Pendidikan Dalam Persfektif Hadits, 2005. UIN Jakarta Press:
Jakarta, Cet. I. h. 274.
Ibn Muslim al-Qurasyi al-
nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih, 2006.
Dar al-Fikr : Bairut Lebanon Hadis Nomor 1794
Urwah bin Zubair . Ad-Darul Mantsur, jilid. 5
hal.
Al Qurtubi
,Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an. 2000. Al-Muassah
al-risalah : Lebanon. Jil 6 hal 238.
Ibnu Taimiyah. Ghadzaul Al Baab, jilid. 1
hal. 382
Departemen Agama RI.
1984. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara
penterjemah Al-qur’an,
Keterangan ini bias
kita temukan dalam kitab Fathul Qodiir, jilid. 3
hal. 218
Imam Adz Dzahabi. Al Kabaair, hal 40
Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya jilid.1, hal. 346,
Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516
Abi
Abdullah Muhammad bin ismail al_bukhari, Matnul
Masykul Bukhari. 2006. Dar al-Fikr : Birut Lebanon hadist no. 4340, 7145,
7257
HR. Abu Dawud no. 2528, an-Nasa-i, VII/143, Ibnu
Majah no. 2782, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu. Lihat kitab Shahiih Abi
Dawud no. 2205
HR.
Ahmad, III/76; Abu Dawud no. 2530; al-Hakim, II/103, 103, dan ia
menshahihkannya serta disetujui oleh Adz-Dzahabi dari Abu Sa'id radhiyallahu
'anhu. Lihat kitab Shahihh Abu Dawud no. 2207
Ibn Muslim
al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’
al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4, hal. 3 hadist no.
1757no.
2549, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu
HR. Ahmad, II/204, Abu Dawud no. 3530, dan Ibnu
Majah no. 2292, dariIbnu 'AMr radhiyallahu 'anhu. Hadits ini tertera dalam
kitab Shahiihul Jaami no. 1486
HR.
Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu
HR. Ibnu Hibban no. 433 dari Ibnu Umar radhiyallahu
'anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami' no. 5960
Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam
Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh
Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406
[1] A Mustafa, Akhlak Tasawuf, 1999. Pustaka
Setia: Jakarta, Cet. III, hal 11.
[3] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin,
1987. Darur Riyan,, Jilid. III, hal. 58.
[4] Ibrahim Anis, Al-Mu.jam
al-Wasith, 1972. Darul Ma.arif : MesirDarul
Ma.arif, hal. 202.
[5] Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam
Persfektif Hadits,
2005. UIN
Jakarta Press: Jakarta, Cet. I. h. 274.
[6] Ibn Muslim al-Qurasyi
al- nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih,
2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon Hadis Nomor 1794
[11] Departemen Agama
RI. 1984. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara
penterjemah Al-qur’an, hal. 168
[12]Departemen Agama
RI. 1984. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara
penterjemah Al-qur’an, hal 212
[13] Keterangan ini bias kita temukan
dalam kitab Fathul Qodiir …….jilid. 3 hal. 218
[14] Departemen Agama RI. 1984. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara penterjemah Al-qur’an, hal
654
[15] Imam Adz Dzahabi. Al Kabaair ……. hal 40
[16] Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya jilid.1, hal. 346, Hadits ini Shohih, lihat Silsilah Al Hadits
Ash Shahiihah No. 516
[17] Ibn Muslim
al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’
al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4, hal. 3 hadist no.
1757
[18] Departemen Agama RI. 1984. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara penterjemah Al-qur’an, hal.
654
[19] Abi Abdullah Muhammad bin ismail
al_bukhari, Matnul Masykul Bukhari.
2006. Dar al-Fikr : Birut Lebanon hadist no. 4340, 7145, 7257, dan Ibn Muslim al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4,
hal. 3 hadist no. 1840, dari Ali radhiyallahu 'anhu
[20] Departemen Agama
RI. 1984. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara
penterjemah Al-qur’an, hal
[21] Departemen Agama RI. 1984. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan penyelenggara penterjemah Al-qur’an, hal.
123
[22] Ibn Muslim al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4,
hal. 3 hadist no. 1757 no. 2551, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
[24] Abi Abdullah
Muhammad bin ismail al_bukhari, Matnul
Masykul Bukhari. 2006. Dar al-Fikr : Birut Lebanon hadis no. 3004, 5972,
dan Muslim no.2549, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu
[25] HR. Abu Dawud
no. 2528, an-Nasa-i, VII/143, Ibnu Majah no. 2782, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu
'anhu. Lihat kitab Shahiih Abi Dawud no. 2205
[26]HR. Ahmad,
III/76; Abu Dawud no. 2530; al-Hakim, II/103, 103, dan ia menshahihkannya serta
disetujui oleh Adz-Dzahabi dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu. Lihat kitab
Shahihh Abu Dawud no. 2207
[27] Ibn Muslim al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4,
hal. 3 hadist no. 1757no. 2549, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu
[28] HR. Ahmad, II/204, Abu Dawud no.
3530, dan Ibnu Majah no. 2292, dariIbnu 'AMr radhiyallahu 'anhu. Hadits ini
tertera dalam kitab Shahiihul Jaami no. 1486
[29] HR. Bukhari no.
5973 dan Muslim no. 90, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu
[30] HR. Bukhari no.
5971 dan Muslim no. 2548
[31] Ibn Muslim al-Qurasyi
al- nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih,
2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4, hal. 3 hadist no. 1757 no. 1631 dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu
[33] Ibn Muslim al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’ al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4,
hal. 3 hadist no. 1757 no. 2552 dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu
[34] HR. Ibnu Hibban
no. 433 dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu. Hadits ini tertera dalam kitab
Shahiihul Jaami' no. 5960
[36] Diriwayatkan oleh
Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh.
Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406
[37] Ibn Muslim
al-Qurasyi al- nasaiburi, al-Jami’
al-Shahih, 2006. Dar al-Fikr : Bairut Lebanon jilid. 4, hal. 3 hadist no.
1757 No. 1758, ringkasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar